- Indonesia, Samarinda
WARTA-DIGITAL.COM SAMARINDA — Anggota Komisi III DPRD Kalimantan Timur (Kaltim), Abdulloh, menyampaikan kritik tajam terhadap kebijakan penyaluran hibah dan bantuan sosial (bansos) yang dinilainya tidak berpihak pada kepentingan masyarakat, khususnya fasilitas keagamaan seperti masjid dan musholla.

Ia menyoroti bagaimana ruang partisipasi publik justru makin terbatas, bahkan dalam momentum reses yang seharusnya menjadi jembatan antara wakil rakyat dan konstituen.
“Reses mestinya bisa menyerap semua aspirasi. Tapi kalau seperti sekarang, media saja tidak bisa masuk, terlebih usulan masyarakat juga sulit menyampaikan. Ada pembatasan‑pembatasan,” ujar Abdulloh.
Ia menilai bahwa penyempitan akses ini bertentangan dengan prinsip keterbukaan dan transparansi yang seharusnya dijunjung tinggi oleh DPRD dalam menjalankan tugas konstitusionalnya. Bagi Abdulloh, aspirasi masyarakat seharusnya ditindaklanjuti melalui mekanisme Pokok-pokok Pikiran (Pokir), bukan justru dibatasi dengan alasan prosedural atau teknis.
Tak hanya itu, Abdulloh juga mengkritik keras kebijakan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kaltim yang menyerukan penghapusan alokasi hibah dan bansos. Ia menyebut narasi tersebut menyesatkan karena tidak mencerminkan arahan langsung dari Gubernur Kaltim.
“Fraksi Golkar garda terdepan untuk mengawal kebijakan Gubernur, karena tidak sesuai dengan apa yang dikatakan Bappeda bahwa ini semua kebijakan Gubernur, padahal menurut saya tidak ada campur tangan Gubernur dalam hal itu,” jelasnya.
Ia mengungkapkan bagaimana dinamika politik terjadi di balik layar, khususnya saat pembahasan anggaran di Balikpapan.
Menurutnya, meskipun dalam rapat telah tercapai kesepakatan untuk mengakomodir usulan bansos, keputusan itu mendadak berubah saat mendekati paripurna, tanpa penjelasan memadai.
“Rapat di Balikpapan sudah setuju untuk mengakomodir hibah dan bansos, begitu mendekati paripurna malah berubah lagi, padahal sudah dibahas pagi hingga sore,” ungkapnya.
Abdulloh menolak dalih teknis seperti belum adanya Peraturan Gubernur (Pergub) atau waktu yang sempit sebagai alasan pembatalan usulan hibah. Ia menegaskan, jika kepala daerah benar-benar memiliki kemauan politik, maka seluruh perangkat birokrasi pasti akan bergerak mendukung.
“Kalau niat politik itu kuat, semua akan bergerak mendukung. Jangan aspirasi masyarakat dikorbankan oleh alasan teknis. Itu tidak adil,” tutupnya.
Melalui kritiknya, Abdulloh berharap pemerintah daerah membuka ruang dialog yang lebih inklusif dan tidak menutup mata terhadap kebutuhan mendasar masyarakat, terutama yang menyangkut fasilitas keagamaan yang selama ini bergantung pada dukungan hibah dari pemerintah.(adv/sky)
Komentar